Bab 165 Mulutmu Hanya Untuk Melawan
Bab >65 Mulutmu Hanya Untuk Melawan
Dokter juga menyadari dirinya sudah salah bicara, dengan canggung batuk, memanggil suster yang ada di ruangan dan pergi.
Beberapa suster yang datang ingin melihat pria tampan dengan menyayangkan mendesah, dengan tidak rela melihat bayangan Yose dan berusaha menarik perhatiannya.
Tapi Yose sama sekali tidak melihat mereka, jadi mereka hanya bisa keluar.
Darlene melihat mereka yang pergi, seperti memanggil mereka sekalian membawanya pergi juga, sayangnya mereka sepertinya tidak mendengar jeritan dari dalam hatinya.
Setelah orang-orang itu pergi, dan juga membantunya menutup pintu.
Ruangan menjadi hening, membuat Darlene merasa dirinya sampai di kamar mayat, tubuhnya juga merinding.
Seiring dengan pria yang mendekat, Darlene bahkan berharap bisa mencari lubang dan mengirim dirinya keluar agar terpisah darinya.
Tatapan Yose sangat dingin, bibir tipis mengatakan, "Dia datang kemari yah."
"Tidak, tidak ada siapapun yang datang, aku sendiri yang tidak berhati-hati dan menyentuh lukaku." Darlene berkata, satu tangan dikeluarkan dari selimut, mencoba untuk menyimpan undangan yang sangat terlihat jelas itu.
"Kenapa tidak melawan." Yose benar-benar marah sampai ingin mencekik wanita yang ada dihadapannya ini.
"Apa yang kamu katakan." Darlene berpura-pura tidak mengerti, tatapannya terlihat sedih.
Melawan? Bagaimana melawan, dia tidak ada alasan untuk melawan.
Yose mendekat, bahkan nafasnya seperti menyemburkan api, "Darlene kamu jangan mengubah topik, lain kali kalau aku melihatmu diam saja saat disakiti, aku tidak akan keberatan untuk menghabisimu dulu."
"Kenapa kamu begitu galak padaku, aku terluka dan tidak ada tenaga." Darlene merasa sedih, berbicara dengan menahan tangis.
Yose melihat tangannya yang terluka, tatapannya terlihat kesal, nadanya sangat kaku berkata, "Kamu tidak bisa meminta pertolongan yah, apakah mulutmu hanya digunakan untuk melawanku?"
"Aku sudah bilang kalau aku yang tidak hati-hati." Darlene bersikeras tidak ingin mengakui kalau Jane datang kesini.
Yose langsung mengambil undangan yang berusaha dia sembunyikan, melemparkan kehadapannya, "Apa ini."
Melihat semuanya sudah terungkap, Darlene juga tidak menyembunyikannya lagi, menjerit ke arahnya, "Jadi apa yang kamu ingin aku lakukan, menusuknya juga yah, dari awal aku lah yang salah, aku tidak seharusnya bersama denganmu."
Gawat, kenapa dia mengatakan isi hatinya.
Masalah sudah menjadi seperti sekarang ini, punggung Darlene menjadi tegang, tetap dengan keras kepala menatap pria yang ada dihadapannya, kalau dengan begini bisa membuat hubungan mereka putus.
Kalau begitu marahlah, marah.
Diluar dugaan, dia tidak marah, tatapan pria yang berapi sepertinya ada perasaan lain di dalamnya, membuat Darlene seketika tidak tahu apa maksudnya.
Tidak berarti Darlene mengetahui apa yang ada di tatapannya, tatapan Yose kembali tenang, hanya dengan dingin berkata, "Ingat Darlene, kalau kamu dengan rela disakiti, maka tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Setelah berkata, dia dengan dingin memalingkan tubuh dan pergi.
Darlene terdiam melihat bayangan Yose, sepertinya hal terpenting dihatinya ikut pergi seiring dengan kepergiannya, begitu pahit.
Yang Yose katakan benar, dia memang merasa bersalah, jadi tidak peduli apapun yang Jane lakukan padanya, dia tidak akan melawan, bahkan merasa dia sedang membayar kesalahannya.
Tidak bisa menghilangkan rasa bersalah di dalam hatinya, apa yang bisa dia lakukan, siapa yang bisa memberitahunya harus bagaimana.
Satu adalah pria yang dia cintai namun tidak bisa di dapatkan, satu adalah teman kuliahnya selama 3 tahun, mungkin dialah orang yang tidak seharusnya ada itu.
Tidak tahu sejak kapan di depan pintu ada 2 orang, setelah menyapa Darlene, mereka pun berdiri di depan pintu dan tidak masuk.
Seharusnya adalah orang yang Yose suruh Jasper untuk mengutusnya kemari.
Darlene terus duduk di atas ranjang dengan posisi yang sama seharian, kakinya dari tadi sudah tidak berasa, hingga ponsel di atas ranjangnya getar, dia barusan sadar.
Adalah telepon dari Lina.
Tatapan Darlene terlihat tergerak, mengambil ponsel dan menaruhnya ditelinga.
Dari balik telepon terdengar suara yang imut, "Ibu, Derik sangat merindukanmu."
Dalam seketika, mata Darlene langsung berlinang air mata, hanya dengan mengedip mata, air matanya akan menetes keluar, dia mengigit bibir dengan kuat, membiarkan dirinya tenang, dengan suara yang serak dan lembut berkata, "Derik, ibu juga sangat merindukanmu."
Apa yang dia lakukan barusan, dia bahkan sedang asal berpikir dan menyakiti dirinya sendiri, dia masih memiliki Derik.
Putra kesayangannya sedang menunggunya pulang, menunggu dirinya membawa dia pergi operasi, menunggunya melindunginya.
Ibu dan anak selalu sehati, begitu mendengar suara Darlene, Derik langsung merasa ada yang salah, dengan hati-hati bertanya, "Ibu, apakah kamu sedang bersedih?"
"Tidak, ibu tidak sedih, ibu hanya sangat senang karena mendengar suara Derik." Darlene memaksa dirinya tersenyum, Derik adalah matahari dihidupnya, karena Derik, dia merasa semuanya itu bermakna."
"Ibu jangan sedih, Derik tidak akan membuat ibu khawatir, besok Derik akan kembali ketempat nenek." Dia tahu ibunya takut ayahnya mengetahui keberadaannya, menahan rasa rindu sampai begitu malam barusan meneleponnya.
Darlene berusaha membuat nadanya terdengar santai, "En, Derik kembali dulu, setelah pekerjaan itu selesai, ibu akan pergi mencari Derik."
"Baik, Derik tunggu ibu kembali." Derik dengan pengertian menjawab.
Hati Darlene tiba-tiba terasa sedih, "Apakah Derik akan marah dengan ibu?"
Derik mengikuti cara bicara orang dewasa, dengan nada yang lembut dan memanjakan berkata, "Tidak, ibu adalah wanita yang paling kuat, tidak boleh menangis yah."
Darlene pun tertawa, dia bahkan tergoda oleh seorang anak berusia 3 tahun, perasaan yang kacau juga menjadi lebih baik, "En, ibu akan berusaha menjadi ibu yang kuat."
Demi Derik tidak akan takut dengan apapun.
"En, Derik juga akan menjadi anak yang patuh, ibu sudah sangat malam, Derik harus pergi tidur." Walaupun sangat tidak rela, tapi pria harus menepati ucapannya, dia tidak boleh membuat ibu khawatir.
"Baik, cepat pergi." Darlene pun merasa tenang.
Setelah menutup telepon, Darlene merasa menjadi sangat semangat, walaupun pria yang marah itu tidak kembali lagi.
Dia masih memiliki matahari yang hangat, dia sama sekali tidak merasa sedih.
Derik yang tadinya mengatakan akan tidur, di balik selimut diam-diam mengeluarkan sebuah kartu nama dari kantongnya, mengambil lampu kecil dan menyinari, bergumam, "081....banyak sekali angka 9nya, sudahlah telepon dulu saja."
Tidak lama ponsel Yose pun berdering.
Melihat adalah nomor asing, reaksi pertamanya adalah menolak, tidak tahu apakah karena terlalu marah dengan Darlene atau kenapa, dia langsung mengangkat telepon dengan bluetoothnya.
Suara yang jernih bagaikan angin di musim dingin, menusuk sampai ke tulang, "Sebaiknya kamu benar-benar ada urusan penting yang ingin dikatakan."
Kalau tidak jangan salahkan dia, hari ini suasana hatinya sedang buruk.